Mengapa Nabi Diturunkan di Arab?
Pertanyaan yang sering muncul dari banyak orang, mengapa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam di utus di Jazirah Arab, bukan di Kepulauan Nusantara misalnya. Mengapa beliau diutus di Kota Makkah, bukan di Jakarta atau di Jogja?
Sebenarnya dari dua artikel yang kami tulis sebelum ini, kita akan punya gambaran bagaimana kondisi Jazirah Arab dan penduduknya, sehingga memang wajar kalau Allah SWT pilih menjadi tempat turunnya wahyu yang terakhir.
Namun untuk memperjelas hal tersebut, kita akan coba kembali memaparkan alasan-alasan tersebut dengan lebih sistematis.
1. Keberadaan Baitullah
Sebelum Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam diutus, Allah telah menentukan bahwa Baitullah (Ka’bah) dibangun di jantung Jaziratul Arab, yaitu Kota Makkah. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (Ali Imran: 96).
Jadi jauh sebelum Nabi shallallahu ‘alahi wasallam terakhir dilahirkan di Makkah, kota tersebut sudah disiapkan untuk menerima kehadirannya. Di Kota Makkah pula Allah telah mengukuhkan dakwah bapak para nabi, yaitu Ibrahim alahissalam.
Dengan segala bentuk keistimewaan itu, kawasan yang penuh berkah ini memang layak menjadi pondasi bagi dakwah Islam yang merupakan kelanjutan dari millah Ibrahim, menjadi tempat kelahiran dan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam sebagai nabi terakhir, di mana beliau juga masih keturunan langsung dari Nabi lbrahim ‘alaihissalam. [1]
Makkah Al Mukarramah juga telah menjadi tempat yang dengan banyaknya orang yang berkunjung ke sana. Mulai dari para jamaah haji, para pedagang, demikian juga para sastrawan dan juga penyair.
Keadaan ini tentunya akan mempermudah dakwah. Orang-orang yang datang ke Makkah, maka mereka akan pulang ke negerinya dengan membawa berita kerasulan.
Bukankah dahulu kaum Anshar masuk Islam di musim haji? Bukankah mereka juga membuat baiat, janji setia kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam di musim haji pula? [2]
2. Faktor Bahasa
Ketika Nabi shallallahu ‘alahi wasallam di utus, Jazirah Arab yang demikian luas hanya memiliki satu bahasa untuk komunikasi di antara mereka, yaitu Bahasa Arab.
Bahasa Arab yang dipakai oleh para penduduk Jazirah Arab termasuk bahasa yang sangat tua. Semakin tua sebuah bahasa, akan semakin kaya dengan kosakata dan semakin sempurna tata bahasanya.
Kalau saja mau meneliti karakter berbagai macam bahasa yang ada di dunia, kita akan dapatkan bahwa bahasa Arab sedemikian istimewa dibandingkan bahasa-bahasa yang lain.
Oleh karena itu, pantaslah ia dijadikan bahasa utama umat Islam yang tinggal di seluruh penjuru dunia. [3]
3. Ummi-nya Bangsa Arab
Di antara faktor yang menyebabkan di utusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Jazirah Arab, adalah karena kondisi bangsa Arab yang mayoritasnya ummi, yaitu tidak bisa membaca dan menulis tulisan.
Di dalam Al Qur’an Allah berfirman,
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Orang-orang yang mengikut Rasul (yang merupakan) Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis tulisan) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan hal-hal yang ma’ruf dan melarang mereka dari hal-hal yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an) adalah orang-orang yang beruntung.” (Al A’raf: 157)
Kalau saja Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam diturunkan di tengah-tengah bangsa yang memiliki budaya literasi, maka bisa saja orang menuduh bahwa beliau mengarang ajaran Islam dari buku-buku yang pernah beliau baca.
Al Imam Asy Syaukani rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya,
لَوْ كُنْتَ مِمَّنْ يَقْدِرُ عَلَى التِّلَاوَةِ وَالْخَطِّ لَقَالُوا لَعَلَّهُ وَجَدَ مَا يَتْلُوهُ عَلَيْنَا مِنْ كُتُبِ اللَّهِ السَّابِقَةِ، أَوْ مِنَ الْكُتُبِ الْمُدَوَّنَةِ فِي أَخْبَارِ الْأُمَمِ، فَلَمَّا كُنْتَ أُمِّيًّا لَا تَقْرَأُ، وَلَا تَكْتُبُ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مَوْضِعٌ لِلرِّيبَةِ، وَلَا مَحَلٌّ لِلشَّكِّ أَبَدًا، بَلْ إِنْكَارُ مَنْ أَنْكَرَ، وَكُفْرُ مَنْ كَفَرَ مُجَرَّدُ عِنَادٍ، وَجُحُودٍ بِلَا شُبْهَةٍ
“Seandainya engkau (Muhammad) adalah orang yang mampu membaca dan menulis, tentu orang-orang akan berkata bahwa ajaran beliau hanyalah dari hasil membaca kitab-kitab Allah yang ada sebelumnya atau hasil dari menelaan kitab-kitab yang disusun tentang kisah umat-umat terdahulu. Maka ketika engkau (wahai Muhammad) adalah seorang yang ummi, yang tidak bisa membaca dan menulis tulisan, maka tidak ada lagi peluang untuk meragukan kebenaran risalah. Sehingga yang pengingkaran dan kekufuran kepada beliau hanyalah karena sikap keras kepala, sombong atau termakan syubhat.” [4]
4. Kepolosan Bangsa Arab
Maksudnya kepolosan di sini bahwa bangsa Arab kala itu adalah bangsa yang belum terkontaminasi oleh peradaban yang ada di sekitarnya. Pikiran mereka belum dicemari berbagai macam filsafat yang rumit.
Seperti ke-ummi-an mereka, kepolosan bangsa Arab ini adalah untuk menyingkirkan keraguan dari dada semua manusia. Kalau saja nabi yang diutus Allah subhanahu wa ta’ala itu lahir dari kalangan intelektual yang menguasai kitab-kitab filsafat, sejarah-sejarah bangsa dan peradaban seperti bangsa Yunani, Romawi dan Persia, pastilah orang akan menganggap Islam merupakan buah pikir manusia, bukan wahyu. [5]
5. Letak yang Strategis untuk Memulai Dakwah
Jika ditinjau dari letak geografis, Jazirah Arab yang dipilih oleh Allah sebagai tempat kelahiran dakwah agung ini begitu strategis seperti yang telah kita sebutkan pada pembahasan kita sebelum ini.
Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa Jazirah Arab adalah bagian tengah dari peradaban dunia.
Al Imam Al Qurthubi di dalam tafsirnya bahkan menyebutkan bahwa Ka’bah adalah pertengahan bumi.[6]
Namun hendaknya Anda jangan membayangkan dunia seperti di zaman kita sekarang. Tapi bayangkanlah dunia di masa pengutusan Rasulullah, sebelum adanya penemuan benua baru dan perpindahan besar-besaran manusia ke sana.
Letak yang strategis ini akan semakin terbukti dengan perjalanan penyebaran Islam di masa-masa Khulafaur Rasyidin dan kerajaan-kerajaan Islam setelahnya.[7]
6. Fanatisme Kesukuan
Dahulu sistem sosial yang berlaku pada kebanyakan bangsa Arab adalah sistem qabily (kesukuan). Maka hubungan kekerabatan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sistem sosial kemasyarakatan semacam ini.
Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mulai berdakwah, beliau pun mendapatkan perlindungan dan pertolongan yang signifikan dari qabilah beliau, Bani Hasyim, terutama dari paman beliau Abu Thalib. [8]
Demikian beberapa faktor yang disebutkan oleh para ulama sebagai alasan mengapa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus oleh Allah di Jazirah Arabia.
Ini semua merupakan hikmah yang agung yang pastinya telah ditentukan oleh Allah subhanahu wata’ala yang Maha Hakim.
Wallahu a’lam bisshawab.
Selesai ditulis di Jogjakarta, 28 Muharram 1439 H bertepatan dengan tanggal 18/10/2017.
Catatan Kaki:
[1] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Fiqhus Sirah An Nabawiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 49.
[2] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 22.
[3] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Fiqhus Sirah An Nabawiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 50.
[4] Muhammad bin Ali Asy Syaukani, Fathul Qadir, (Damaskus: Daar Ibni Katsir, 1414 H), Jilid 4 hlm. 239.
[5] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Fiqhus Sirah An Nabawiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 48-49.
[6] Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi, Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, (Kairo: Darul Kutub Al Mishriyyah, 1964), jilid 2, hlm. 153.
[7] Muhammad Said Ramadhan Al Buthi, Fiqhus Sirah An Nabawiyah, (Beirut: Darul Fikr, 1999), hlm. 49.
[8] Zaid bin Abdul Karim Az Zaid, Fiqhus Sirah, (Riyadh: Darut Tadmuriyyah, 1424 H) hlm. 20.