Tentang Tahun 1 Hijriah (2)
Dalam penanggalan Tahun Kabisat, peristiwa Hijrah ini terjadi pada 11 September 622 Masehi. Tapi titik balik syiar dakwah Nabi Muhammad SAW hingga sampai pada hari ini, terjadi pada musim haji tahun 620 Masehi.
Tahun ini dikenal juga dengan tahun kesedihan bagi Nabi SAW yang mulia. Secara beruntun beliau kehilangan dua sosok penting dalam hidupnya, yaitu pamannya, Abu Thalib dan Khadijah, Istrinya yang tercinta. Disisi lain, dengan hilangnya dua orang terdekat beliau ini, kesewenang-wenangan kaum kafir Makkah semakin menjadi-jadi pada kaum muslimin, terlebih kepada Rasulullah SAW.
Bila sebelumnya, dibawah perlindungan Abu Thalib, mereka hanya berani mencaci dan menghina Nabi SAW dengan kasar, setelah kepergian Abu Thalib, mereka mulai melakukan perbuatan yang kejam pada beliau. Berkali-kali Nabi yang mulia dilempari batu, bahkan pernah ditumpahkan bangkai hewan di kepalanya saat beliau sedang bersujud. Di tahun ini juga Rasulullah SAW memutuskan untuk pergi ke Thaif dan berdakwah disana. Dakwah ini berujung pengusiran yang kasar dari masyarakat Thaif pada sosok mulia ini. Beliau diusir sambil di lempari batu, sehingga menyebabkan darah menetas dari wajah beliau.
Namun hanya berselang 2 bulan setelah pertistiwa Thaif, di musim haji tahun 620 Masehi, beliau bertemu dengan 6 orang peziarah dari Madinah yang sedang menunaikan Haji disana. 6 orang tersebut hingga hari ini tercatat namanya, yaitu : As’ad bin Zurarah, ‘Auf bin Harits bin ‘Afra, Rafiq bin Malik bin ‘Ajlan, Quthbah bin ‘Amir bin Hadidah, ‘Uqbah bin ‘Amir bin Nabiy, dan Jabir bin Abdullah. Keenam orang ini menyambut baik seruan Rasulullah, dan mengucapkan syahadat pada waktu itu juga.
Pada musim haji berikutnya, jumlah orang Madinah yang menyambut seruan Rasullah SAW bertambah 2 kali lipat, yaitu 12 orang. Dua belas orang ini terdiri dari perwakilan setiap klan dari 2 suku besar yang ada di Madinah pada masa itu, yaitu ‘Aus dan Khazraj.[1] Kedua belas orang ini kemudian mengikrarkan sumpah setia kepada Nabi Muhammad SAW di sebuah bukit yang bernama Aqabah. Ikrar yang mereka ucapkan ini terkenal dengan nama Bai’at Aqabah pertama.
Baiat tersebut berisi perjanjian yang dibuat langsung oleh Rasulullah SAW untuk mereka. Menurut riwayat Ubadah bin Shamit, seperti dikutip Muhammad Al-Gazali dalam Fiqhus-Sirah, isinya adalah sebagai berikut :[2]
- Tidak boleh menyekutukan Allah SWT
- Tidak boleh mencuri
- Tidak boleh berzina
- Tidak boleh membunuh anak-anak
- Tidak boleh memfitnah tetangga
- Tidak boleh membantah perintah Rasul.
Bila diperhatikan secara seksama 6 isi perjanjian tersebut, point 1 dan 6 adalah dua kalimah syahadat. Sedang 2-5 adalah amaliah sosial.[3]
Setelah mereka mengucapkan ikrar, mereka kembali ke Madinah. Sehari setelahnya Rasulullah SAW mengirimkan Mush’ab bin ‘Umair bin Hasyim bin ‘Abdul Manaf ke Madinah untuk mengajarkan Islam lebih dalam kepada masyarakat Madinah.
Mush’ab bin ‘Umair dikenal sangat lembut, fasih dan penyabar dalam menyampaikan risalah islam. Menurut O. Hasem, hanya setahun Mush’ab bin ‘Umair berdakwah di Madinah, Islam berkembang dengan sangat pesat di sana. Hingga hampir semua rumah di Madinah saat itu sudah ada muslim di dalamnya. Dalam sejarah Islam, Mush’ab bin ‘Umair dikenal sebagai da’i pertama, ia mendapatkan kesyahidan 4 tahun kemudian pada perang Uhud tahun 3 Hijriah.[4]
Pada musim haji selanjutnya, yaitu pada tanggal 28 Juni 622 Masehi, jumlah penduduk Madinah yang datang berbaiat pada Rasulullah SAW membengkak jumlahnya 6 kali lipat. Bai’at ini dilakukan di tempat yang sama, sehingga kita mengenal peristiwa ini sekarang dengan Bai’at Aqabah kedua. Hampir semua sejarahwan sepakat jumlah mereka yang berbai’at pada waktu itu 75 orang, terdiri atas 73 laki-laki dan 2 perempuan.[5] Isi Bai’at Aqabah kedua ini hampir sama dengan yang pertama, hanya ada sedikit penambahan, yaitu janji masyarakat Madinah untuk membantu kaum muslimin, bahkan dengan mengangkat senjata, dan melawan serangan musuh.
Syed Ameer Ali merekam dialog yang mengharukan antara Rasulullah SAW dengan masyarakat Madinah ini sebagai berikut :
“Bicaralah, ya Muhammad,” pinta mereka, “katakan apa yang baik bagimu dan Tuhan mu”.
Rasulullah pun memulai dengan membaca beberapa ayat Al-Quran seperti biasa. Beliau kemudian mengajak orang-orang Yarsrib (Madinah) untuk berbakti kepada Allah SWT. Beliau juga berbicara tentang rahmat yang dibawa agama Islam. Ikrar yang dulu diikrarkan sekali lagi, bahwa mereka tidak akan menyembah wujud lain selain Tuhan; bahwa mereka akan menjalankan perintah Islam; bahwa mereka akan mematuhi Muhammad dalam hal yang benar dan akan membelanya sebagaimana mereka membela anak istrinya sendiri.
Kemudian mereka bertanya, “Jika kami mati di jalan Tuhan, apa yang akan kami peroleh?”
“Kebahagiaan di akhirat”, jawab Rasulullah
Mereka balik bertanya, “apakah engkau tidak akan meninggalkan kami untuk kembali pada kaum mu jika kemakmuran telah tercapai?”
Rasulullah yang mulia tersenyum dan berkata, “Tidak. Tidak akan pernah. Darahmu adalah darahku. Aku milikmu dan engkau milikku. Kini, ulurkan tangan kalian”.
Peristiwa tentang Bai’at Aqabah ini tidak mungkin dipisahkan dari rangkaian episode hijrah Rasulullah SAW. Ikrar suci yang deklarasikan pada kedua Bai’at ini, telah melegakan hati Sang Nabi dan kaum muslimin. Bai’at ini menjadi kunci kebebasan syiar Islam yang selama belasan tahun diintimidasi, diboikot dan terkungkung dalam lembah kecil di sudut kota Makkah.
Rentang waktu dan peristiwa yang terjadi dalam dua Bai’at Aqabah ini menyediakan landasan yang kokoh bagi terbangunnya sistem masyarakat Islam. Meski secara kasat mata kondisi kaum muslimin Makkah semakin hari semakin mengkhawatirkan, kaum kafir Quraisy tidak pernah menyadari, bahwa hanya berjarak 400 Km dari tempatnya, Allah dan Rasul Nya sedang membangun pondasi agung peradaban Islam. Dan orang-orang Madinah, yang kini dipenuhi oleh semangat Islam yang membumbung tinggi, dengan rindu yang menggelora pada Sang Nabi, sedang menunggu di batas kota, untuk memulai satu revolusi terbesar dalam sejarah umat manusia. (APP)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] ‘Aus dan Khazraj adalah dua suku besar yang paling berpengaruh di Madinah pada masa itu. Namun permusuhan diantara mereka sudah berlangsung berabad-abad. Selama berabad-abad itu, kedua suku ini hanya melakukan gencatan senjata untuk menghentikan sementara pertempuran, dan tanpa sekalipun berdamai. Perang terakhir yang dilakukan oleh kedua suku ini yaitu perang Bu’ats yang terjadi 5 tahun lalu sebelum Bai’at Aqabah pertama. Perang ini dimenangkan oleh klan ‘Aus dan hampir memusnahkan seluruh klan Khazraj. Permusuhan dan dendam kesumat yang sudah berlangsung berabad-abad ini hanya bisa dikonversi menjadi persaudara oleh arbitrase kenabian. Lihat, O. Hasem, Muhammad Sang Nabi, Jakarta, Ufuk Press, 2004, Hal 118-119
[2] Lihat, M. Fuad Nasar, Bai’at Aqabah, https://bacaalquran.com/baiat-aqabah/, diakses 21 September 2017. Lihat juga O. Hasem, Ibid, Hal. 91-92
[3] Dalam The Spirit Of Islam, Syed Ameer Ali menyebutkan dari Ibn Hisham, isi perjanjian dalam Bai’at Aqabah pertama ini adalah : 1) kami tidak akan menyekutukan Allah; 2) tidak akan membunuh anak-anak kami sendiri; 3) tidak akan berzina; 4) tidak akan memfitnah; 5) kami akan patut pada Muhammad dalam segala kebenaran; dan 6) kami akan setia pada Muhammad dalam suka maupun duka. Lihat, Syed Ameer Ali, Op Cit, Hal. 49
[4] Lihat, O. Hasem, Op Cit, Hal. 92
[5] Dua perempuan ini bernama Nasibah binti Ka’ab atau dikenal dengan panggilan Ummu ‘Ammarah, dan Asma’ binti ‘Amru dengan panggilan Ummu Mani’. Lihat, O. Hasem, Ibid, Hal. 93