Sirah Rasul: Terobosan Besar Hijrah (1)
Dalam kurun waktu kurang dari setahun, Nabi telah mengalami sejumlah peristiwa yang pasti mempengaruhi pemikirannya sehubungan dengan apa yang perlu beliau ikuti agar bisa menyukseskan dakwahnya. Pertama, dengan kematian isterinya Khadijah dan pamannya Abu Thalib, beliau telah kehilangan semua dukungan dan kenyamanan yang selalu beliau terima dari keduanya di dalam rumah dan di tengah masyarakat. Kedua, kegagalan perjalanannya ke Tha’if yang bertujuan untuk mengumpulkan dukungan dari luar untuk tugas dakwahnya, telah menyadarkannya akan fakta bahwa beliau betul-betul sendirian― kecuali sedikit pengikutnya―dalam menghadapi seluruh dunia. Ketiga, perjalanan malamnya ke Yerusalem (isra’ mi’raj) telah memberinya perspektif yang benar dalam memandang segenap situasi. Hal itu membawa kejelasan lebih besar pada pandangannya ihwal letak kekuatan hakiki dalam konfrontasi antara keyakinan yang benar dan musuh-musuhnya.
Menengok kembali pada situasi di Makkah, Nabi menyadari bahwa beliau telah tersudut dalam kebuntuan di kotanya sendiri. Walaupun orang-orang baru yang masuk Islam terus mengalir, tapi terobosan besar tampaknya tetap sesulit sebelumnya. Sikap membeku dan kesetiaan kuat yang berakar pada rasa kesukuan telah menjadi batu sandungan, mencegah orang banyak untuk diharapkan bisa berpikir rasional dan objektif dalam menilai seruan Muhammad. Untuk itu, satu-satunya pilihan adalah mencoba meraih terobosan jauh di luar Makkah.
Walaupun tujuan jangka-pendeknya sangat berbeda, hijrah ke Abysinia dan perjalanan ke Tha’if mungkin bisa dilihat sebagai dua langkah di arah yang sama. Bahkan, Nabi berulang-kali telah mencoba untuk memanfaatkan momentum musim haji sebaik-baiknya, yaitu mendekati para peziarah untuk menjelaskan kepada mereka tentang prinsip-prinsip dasar Islam dan mengundang mereka untuk menerima dan menyampaikan risalahnya kepada suku mereka sendiri. Walaupun beberapa peziarah ada yang menanggapi dengan baik, tapi jumlah mereka terlalu sedikit untuk membuat perubahan terhadap situasi menyeluruh kaum Muslim. Semua pendekatan ini harus dipandang sebagai usaha berkesinambungan untuk memecahkan kebuntuan tersebut. Tentu saja, musim haji memang merupakan kesempatan terbaik untuk membawa risalah Islam ke luar dari batasan Makkah yang sempit. Perjalanannya ke Tha’if membuktikan pada Nabi bahwa terlalu berisiko baginya untuk berspekluasi ke luar tanpa pertama-tama memiliki pangkalan kokoh untuk beroperasi. Akan tetapi, mendekati orang-seorang agaknya bukanlah jawaban atas permasalahan. Perubahan titik-tekan kelihatannya sudah diperlukan.
Ketika musim haji berikutnya tiba, Nabi mulai menerapkan pendekatan baru. Ibadah haji ke Makkah telah menjadi peristiwa tahunan sejak Ibrahim membangun Ka’bah atas Perintah Allah secara langsung. Namun, dari tahun ke tahun, banyak amalan dan upacara tidak religius merangkak masuk ke dalam ibadah haji. Hal ini belakangan dicerabut oleh Islam.
Memanfaatkan Musim Haji
Kini Nabi mendekati para jamaah haji dari suku-suku utama Arab. Biasanya, mereka membentuk kelompok tersendiri dan tinggal bersama di sekitar daerah Makkah dan Arafat. Nabi pergi dan menyeru para peziarah dari masing-masing suku sebagai satu kelompok. Nabi menjelaskan bahwa dia adalah seorang Utusan Allah yang diberi amanat berupa risalah-Nya: untuk menyeru semua orang menyembah-Nya semata-mata dan meninggalkan segala bentuk penyembahan selain kepada-Nya. Nabi juga meminta tiap-tiap suku yang didekatinya untuk memberinya perlindungan sehingga dia bisa menyampaikan pesannya kepada umat manusia. Sebelumnya, Nabi telah mendekati para peziarah secara individual dengan harapan untuk mendapatkan pengikut baru. Kini, beliau mendekati suku demi suku untuk persekutuan yang bisa memberinya kebebasan bergerak.
Tentu saja kaum Quraisy yang dengki kepada Nabi, bahkan untuk suatu keberhasilan paling tipis atas apa yang beliau dapatkan dari hasil usaha sebelumnya, tidak akan berdiam diri melihat pendekatan beliau yang kini bersifat kolektif. Pamannya sendiri, Abu Lahab yang selalu menjadi musuh besar Islam, malah turun tangan secara langsung untuk melakukan kampanye tandingan dalam rangka menghasut orang-orang agar jangan mendengarkan Muhammad. Riwayat berikut ini berasal dari Rabi’ah bin Abbad dari Dil, cabang suku Kinanah yang besar:[1]
Aku masih seorang remaja yang mendampingi ayahku di Mina (tempat para peziarah berkemah setelah Arafat) ketika aku melihat Rasulullah datang ke tenda suku-suku Arab. Dia menyeru tiap-tiap suku dengan nama mereka dan berkata: ‘Aku adalah Utusan Allah bagi kalian. Dia menyeru kalian untuk menyembah-Nya semata-mata dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Dia juga memerintahkan kalian untuk meninggalkan semua berhala itu dan memuja-Nya, dan beriman kepadaku dan menerima apa yang kukatakan dan melindungiku sehingga aku bisa menyampaikan Risalah Tuhan yang telah dipercayakan kepadaku.’ Di belakang beliau berdiri seorang lelaki yang juling dengan wajah berbinar-binar, rambutnya dibelah dua, mengenakan sebuah pakaian dari Aden. Ketika Rasulullah selesai berkata-kata, lelaki itu menyeru tiap-tiap suku dengan namanya masing-masing: ‘Apa yang lelaki ini minta dari kalian adalah untuk meninggalkan al-Lat dan al-Uzza (dua berhala mereka yang utama) dan meninggalkan persekutuan kalian dengan jin agar bisa mengikuti keinginannya yang gila. Kalian jangan pernah mendengarkannya dan jangan pernah mematuhinya.’ Aku bertanya kepada ayahku tentang lelaki yang membantah Nabi dan dia mengatakan kepadaku bahwa orang itu adalah pamannya, Abu Lahab.1
Nabi berupaya untuk memenangkan dukungan dari suku lainnya, namun telah ditentang oleh kaum Quraisy dengan segala daya dan upaya. Bagaimanapun, beliau tetap mendakwahkan risalahnya kepada setiap suku yang bisa mengupayakan perlindungan yang beliau butuhkan untuk menyelesaikan tugasnya. Akibatnya, hal ini berarti menantang kaum Quraisy dan berperang dengan mereka adalah perkara yang niscaya terjadi. Oleh karena itu, tidak mengejutkan apabila di antara suku-suku Arab tidak ada yang bergairah untuk menerima tawaran Nabi.
Delegasi Kindah, yang dipimpin oleh seorang lelaki yang disebut Mulaih, bukan satu-satunya suku yang menolak Nabi secara blak-blakan. Suku Bani Amir bin Sa’sa’h pada awalnya sedikit lebih baik. Salah seorang dari mereka yang disebut Baiharah bin Firas, berkata kepada teman sesukunya: ‘Jika aku membawa lelaki Qurasyh ini, bersamanya aku akan mampu menundukkan bangsa Arab.’ Dia kemudian berpaling kepada Nabi dan bertanya kepadanya: ‘Jika kita menerima seruanmu dan memberi dukungan yang kau perlukan, dan seandainya kemudian, kau dengan kehendak Allah adalah pemenangnya, maka akankah kita menjadi penguasa setelahmu?’ Nabi menjawab, ‘Kekuasaan berasal dari Allah. Dia memberinya kepada siapapun yang diinginkannya.’ Lelaki itu berkata: ‘Apakah kita diminta untuk melawan seluruh Arabia untuk mendukungmu, namun ketika kemenangan sudah dicapai, kita akan berikan kekuasaan ini kepada orang lain?! Kita tidak mau ada urusan dengan kamu.’
Manakala utusan kembali pulang, seperti biasa, mereka akan melaporkan pelbagai peristiwa perjalanan mereka kepada para tetua. Ketika mereka menceritakan kepadanya tentang pertemuan mereka dengan Nabi dan juga jawaban mereka kepadanya, seorang lelaki tua yang dihormati di antara mereka mengangkat tangannya ke kepalanya dalam kekecewaan dan berkata: ‘Adakah jalan untuk mengoreksi kekeliruan ini? Demi Dia yang jiwaku dalam genggaman-Nya, belum pernah ada keturunan Ismail yang menyatakan klaim bohong seperti ini. Lelaki ini pastilah Nabi sejati. Di mana kalian letakkan nalar kalian saat berjumpa dengannya?’ Namun, perhatian itu akhirnya tidak membawa hasil.[2]
Pada sisi lain, suku Hanifah memberi Nabi sebuah jawaban yang sangat buruk. Penolakan juga datang dari Bani Kalb.[3](APP)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, Vol. 1, hal. 64-65, juga, Ibn Sayyid al-Nas, ‘Uyun al-Athar, Dar al-Turath, Madinah, 1996, hal. 257.
[2] Ibn Hisyam, op.cit., hal. 65-66.
[3]Ibid., hal. 65.