Sirah Rasul: Terobosan Besar Hijrah (5)
Cara-cara Inovatif untuk Mendapatkan Pengikut Baru.
Tak ayal lagi, para pengikut yang baru masuk Islam di Madinah ini sangat bersemangat dengan keimanan baru mereka. Mereka menyadari bahwa sebagai orang yang percaya pada keesaan Allah, mereka telah memulai tahapan baru dalam sejarah mereka tatkala keimanan menjadi penggerak utama. Mereka memiliki misi yang harus dipenuhi. Tugas mereka yang paling mendesak adalah mendapatkan pengikut baru untuk mengikuti keyakinan baru ini demi mengokohkan landasannya. Oleh karena itu, mereka sangat aktif dalam mewartakan risalah Islam. Mereka sangat tekun mendapatkan pengikut baru di antara mereka yang memiliki kedudukan terhormat dan berpengaruh di tengah kaum mereka. Salah seorang yang seperti itu adalah Amr bin al-Jamuh dari klan Salamah.
Beberapa pemuda Muslim dari klannya sangat gigih untuk membujuk Amr bergabung dengan mereka, tetapi dia adalah lelaki tua yang tidak dengan mudah bisa bereaksi terhadap suatu panggilan yang mengharuskan perubahan radikal dalam pola kehidupannya. Para pemuda klan Salamah segera menyadari bahwa mereka harus berpikir tentang metode yang secara langsung bisa mengantarkan Amr kepada fakta bahwa Islam adalah agama yang jauh lebih baik daripada pemujaan berhala.
Seperti telah dibahas, permujaan berhala adalah agama yang telah dikenal di seluruh dataran Arabia. Orang-orang tidak pernah berpikir bahwa berhala mereka yang terbuat dari batu atau kayu atau emas atau unsur lainnya itu adalah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan mudharat bagi mereka. Mengikuti tradisi kaum bangsawan di Arab, Amr punya berhala yang sifatnya pribadi, dibuat dari kayu. Dia menjaga berhala itu di dalam kamarnya, tempat dia memuliakan dan memujanya.
Para pemuda Salamah memutuskan untuk menjadikan berhala Amr sebagai sasaran mereka. Ketika Amr tidur nyenyak, mereka masuk ke dalam rumahnya dan menyingkirkan berhala itu serta melemparkannya ke dalam lubang yang penuh dengan sampah. Di pagi harinya, Amr bangun dan menyadari bahwa berhalanya telah hilang, sehingga dia langsung mencarinya. Dia mengambil berhala itu dari lubang, membersihkannya dan memberinya wewangian sebelum meletakkannya lagi di tempat yang tersedia. Hal serupa terjadi dari hari ke hari sampai Amr mulai jengkel, tetapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia minta maaf kepada berhala itu: ‘Kalau saja aku tahu siapa yang telah melakukan hal ini kepadamu, niscaya akan ku hukum dengan pedih dia.’ Setelah beberapa hari, sesaat sebelum Amr tidur, dia telah mengambil pedang miliknya dan memberikannya kepada berhala seraya mengikatkan tali yang mengelilingi leher berhala itu, dan berkata: ‘Aku tidak tahu siapa yang telah menyakitimu di malam hari. Jika kau bermanfaat bagi dirimu sendiri, maka belalah dirimu dari serangan mereka. Sekarang kau sudah mempunyai pedang.’ Malam itu, ketika para pemuda Salamah melihat pedang itu menggantung di leher berhala, mereka mengambil berhala itu dan mengikatnya pada seekor anjing yang telah mati dan melemparnya ke dalam sumur rusak, tempat orang membuang kotoran dan sampah. Di pagi hari, Amr mencari berhalanya. Setelah lama mencari, dia menemukannya dan dia ketakutan melihatnya. Putranya dan juga orang-orang lain yang mengatur rencana ini terhadap berhala tersebut berkata kepadanya dan menunjukkan bahwa jika berhala itu tidak bisa melindungi dirinya sendiri, maka sudah pasti ia sama sekali tak berguna bagi siapapun. Sewaktu mereka menjelaskan tentang pesan Islam kepada Amr, dia menerimanya tanpa sedikit keraguan. Dia menciptakan puisi pendek yang bagus untuk menggambarkan berhala dan ketiadagunaannya. Dia juga memuji Allah karena telah membuatnya bisa melihat kebenaran Islam.[1]
Mus’ab bin Umair, duta Nabi ke Madinah, segera kembali sebelum musim haji berikutnya. Dia melaporkan kepada Nabi tentang kabar gembira bahwa hampir tak ada rumah orang Arab di Madinah kecuali ada seorang Muslim di antara anggotanya. Lebih lanjut, dia juga telah melaporkan susunan masyarakat kota itu.
ILUSTRASI NABI MUHAMMAD SEDANG MENGAJARKAN ISLAM (SUMBER: HTTP://WWW.SACRED-TEXTS.COM/ETC/FMMA/FMMA11.HTM)
Penilaian Tuntas atas Situasi Madinah
Secara hati-hati, laporan Mus’ab dipertimbangkan dalam rangka menetapkan apakah Madinah pantas untuk dijadikan negara Islam yang pertama. Perjanjian pertama Nabi dengan masyarakat Madinah hanya menghendaki mereka untuk hidup sebagai Muslim bagi diri mereka sendiri. Ia tidak meliputi ketentuan untuk berhadapan dengan masyarakat atau negara lain. Sekarang adalah saatnya untuk membuat keputusan mengenai aspek ini.
Berdasarkan informasi Mus’ab, Nabi menyadari bahwa selain kaum Muslim baik dari Makkah dan Madinah, terdapat dua kelompok lain di Madinah. Pertama, orang-orang Arab yang belum memeluk Islam. Mereka memiliki perbedaan-perbedaannya sendiri, sekalipun ada harapan bagi Islam untuk menyusup lebih dalam ke tengah-tengah mereka. Di sana mungkin masih terdapat perlawanan sengit atas Islam, tapi itu agaknya tidak terlalu masalah mengingat waktu berpihak pada kaum Muslim. Kedua, kaum Yahudi, yang sikapnya kepada agama baru ini masih belum diketahui. Kaum Muslim harus siap untuk menghadapi semua kemungkinan yang bakal terjadi pada front ini, namun kaum Muslim seharusnya tidak memulai sikap permusuhan. Mereka justru harus berjuang keras untuk membangun hubungan bertetangga yang baik.
Kaum Muslim juga akan memiliki masalah ekonomi yang memerlukan perhatian mendesak: imigran dari Makkah akan tiba di Madinah tanpa uang. Mereka memerlukan perumahan dan pekerjaan. Selain itu, Nabi juga mengetahui bahwa negara baru yang akan didirikan di Madinah akan menghadapi ancaman dari luar. Kaum Quraisy di Makkah tidak akan berdiam diri melihat tantangan supremasi baru di Arabia sedang berkembang dan mengambil bentuk.
Sejumlah ciri-khas telah membuat Madinah cocok menjadi negara baru yang sebenatar lagi akan muncul. Pembentengan alamiahnya sangat unik. Baik di sisi timur maupun barat kota itu, ada dua daerah luas yang diselimuti bebatuan gunung berapi yang tidak bisa dilalui orang, kuda ataupun unta. Praktis mustahil suatu pasukan bisa melewati daerah-daerah tersebut. Hanya bagian utaranya yang memberi akses bagi serangan sebuah pasukan, lantaran sekelilingnya adalah perkebunan kurma yang tak terhitung banyaknya. Barangkali perlu disebutkan di sini bahwa di bagian utara kota itulah Nabi dan para sahabatnya menggali parit untuk membentengi kota ini lima tahun kemudian, ketika gabungan suku-suku besar Arab berbaris menuju Madinah dengan tujuan untuk membasmi Islam secara keseluruhan.
Jadi, dari sudut pandang militer, Madinah cukup mudah dipertahankan. Sejumlah kesatuan kecil cukup untuk menghalangi angkatan perang yang besar dan menghentikan gerakannya. Dari sudut pandang lain, kaum Arab Madinah dari suku Aws dan Khazraj telah dikenal dalam harga diri, ketulusan, keberanian dan keunggulan militer mereka. Mereka belum pernah ditaklukkan oleh para penyerang maupun membayar pajak atau upeti kepada kekuatan penakluk tertentu. Orang atau suku kecil yang mendapat perlindungan salah satu dari kedua suku Arab Madinah ini pasti akan merasa sangat aman.
Kedua suku ini, menurut tradisi Arab saat itu, adalah paman dari pihak ibu Nabi. Kakeknya, Abdul Al-Muttalib yang dilahirkan oleh seorang wanita dari klan al-Najjar asal Madinah, yang disebut dengan Salma binti Amr. Abdul al-Muttalib telah dilahirkan di Madinah dan tinggal di sana sampai masa remaja.
Kedua suku Arab di Madinah berasal dari Qahtan, sedangkan kaum Muslim Makkah berasal dari Adnan, dua golongan utama di Arabia. Memang benar bahwa setiap suku Arab pasti berasal dari salah satu dari dua bagian ini. Ketika Nabi bermukim di Madinah, para pengikutnya berasal dari dua golongan tersebut. Bagaimanapun, kemungkinan terjadinya pertengkaran di antara mereka telah tercegah oleh fakta bahwa mereka sekarang telah memeluk Muslim.
Nabi sangat menyadari akan semua ini sewaktu Mus’ab melaporkan kepada beliau sekembalinya dari misinya di Madinah. Orang bisa merasakan kewaspadaan beliau dalam perencanaannya yang penuh kehati-hatian menyangkut langkah-langkah masa depannya setahun mendatang. Bagaimanapun, keputusan segera diambil mengenai Madinah mengingat ia menawarkan tempat yang layak untuk menegakkan pangkalan baru Islam. Langkah pertama adalah bertemu dengan para pengikut beliau yang baru. Sebuah pertemuan ditetapkan pada malam terakhir [ibadah] haji di Aqabah. Mungkin, ini merupakan pertemuan terpenting selama 13 tahun Islam berada di Makkah. Tujuh puluh tiga lelaki dan dua orang wanita Madinah ikut menghadiri pertengahan malam itu. Ketika semua orang tertidur lelap, orang-orang mukmin itu keluar dari tenda-tenda mereka secara diam-diam dalam susunan satu demi satu untuk menepati janji mereka. Nabi adalah satu-satunya Muslim berasal dari Makkah yang menghadirinya. Kelihatannya beliau harus menyatakan rencana rahasianya itu kepada orang yang dekat dengannya. Dia adalah pamannya, al-Abbas, yang waktu itu belum menjadi Muslim. Al-Abbas adalah satu-satunya non-Muslim yang menghadiri pertemuan itu. Dia ingin memastikan kemenakannya berada pada jalur yang aman.(APP)
Bersambung ke:
Catatan kaki :
[1] Lihat, Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyyah, Dar al-Qalam, Beirut, Vol. 1, hal. 95-96